SEKAR Edisi Bulan Agustus 2023 | Menyambut Indonesia Emas 2045 : Berhenti Joki, Bangun Pendidikan Kualitas Tinggi
← Kembali

SEKAR Edisi Bulan Agustus 2023 | Menyambut Indonesia Emas 2045 : Berhenti Joki, Bangun Pendidikan Kualitas Tinggi

Penulis: Shenny Mutiara Irni

Tahun: 2023

Subjek: -

Abstrak/Deskripsi Singkat:
Penyakit mahasiswa dalam praktik ketidakjujuran akademis biasanya berbentuk manipulasi absensi, plagiarisme, menyontek, dan yang kini populer ialah praktik joki tugas. Berangkat dari masalah tersebut, menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk membahas praktik joki secara spesifik yang kini kian menjamur dikalangan mahasiswa. Karenanya, tulisan ini lantas hadir untuk turut mencari solusi guna meruntuhkan praktik tersebut sebagai tantangan menghadapi Indonesia Emas 2045.


Menyambut Indonesia Emas 2045 :

Berhenti Joki, Bangun Pendidikan Kualitas Tinggi

Oleh : Shenny Mutiara Irni 1


PENDAHULUAN

Manusia tercipta sebagai makhluk yang dapat berpikir sehingga kemudian dapatlah manusia itu menjadi makhluk yang bisa dididik (homo educandum). Manusia pada mulanya tidak serta merta telah menjadi manusia. Karenanya, ia dibebani kewajiban mutlak untuk menjadikan dirinya sebagai manusia. Maka darinya, untuk menjadi manusia, ia perlu dididik. Adalah benar pendapat dari Imanuel Kant mengenai teori pendidikannya yang berbunyi “Humans can be human only through education”.2 Maka kemudian termasuklah pendidikan itu kedalam salah satu kewajiban dan hak asasi seorang manusia. Bahkan dewasa ini, seluruh Negara tengah berlomba untuk memperbaharui sistem pendidikan mereka. Tujuannya sederhana : Menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas tinggi.

Dorongan untuk membangun Bangsa Indonesia menjadi Bangsa yang besar sejajar dengan Negara-negara lain di dunia melalui kontribusi pendidikan sesungguhnya telah diamanatkan dalam konstitusi RI (UUD 1945) dimana berbunyi “Pendidikan merupakan hak dan kewajiban bagi seluruh warga Indonesia”. Pendidikan sedemikian penting karena perannya sebagai sarana utama dalam mengembangkan kemampuan dan kualitas masyarakat. Keberhasilan dari pendidikan itu nantinya akan menjadi pijakan bagi perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat itu sendiri.3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional memprioritaskan pembangunan di tahun 2005-2025 dengan berfokus pada mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Maka dari itu, untuk merealisasikannya diperlukan penguatan jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan.4 Persiapan ini tentu menjadi sangat krusial bagi bekal para peserta didik terutama mencapai SDGs di tahun 2023.

Tahun 2045 disebut-sebut sebagai masa Emas Indonesia karena Bangsa ini akan memasuki usia emasnya yakni 100 tahun kemerdekaan. Diseputar tahun 2010 sampai 2025, Indonesia diprediksi akan mencapai puncak kelimpahan sumber daya manusia (SDM) berupa populasi usia produktif yang jumlahnya fantastis. Jika dalam rentang waktu demikian pemerintah dapat menyusun strategi mencapai SDM unggul, maka meledaknya populasi usia produktif ini akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga. Lantas disinilah peran strategis pendidikan dalam mewujudkan hal tersebut menjadi sangat penting untuk menciptakan Generasi Emas Indonesia.5 Namun tentunya, perjalanan dari tahun ke tahun tidak selalu mulus bahkan terus dihadapkan pada tantangan. Hal-hal tersebut sudah pernah terjabarkan oleh Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Ketua Dewan Kehormatan ICMI, B.J. Habibie tanggal 9-12 Desember 2011 lalu pada acara pembukaan silaturahmi nasional ICMI di Kendari. Beliau mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah terjangkit sesuatu kondisi yang disebut “penyakit orientasi”, salah satunya kecenderungan masyarakat yang lebih menyukai praktik jalan pintas seperti korupsi, kolusi, atau penyelewengan, dibandingkan menempuh jalan kejujuran dan kebajikan.6 Ini tentunya telah menunjukkan adanya kebangkrutan moral didalam tanah air.

Kebangkrutan moral lantas juga mengendap dalam kehidupan pendidikan termasuk di kalangan mahasiswa. Salah satu bentuknya ialah adanya prilaku ketidakjujuran akademis (academic dishonesty). Bowers mengartikan ketidakjujuran akademik sebagai suatu kecurangan akademik dengan menggunakan cara-cara tidak sah untuk mencapai hasil yang sah seperti mendapatkan keberhasilan atau menghindari kegagalan akademik. Hal ini tentu akan mencemari integritas mahasiswa sebagai kaum cendikiawan, atau kaum intelektual. Sebagaimana menurut Schiller dan Bryant, integritas dan kejujuran adalah moral dasar bagi seseorang. Integritas tergambarkan saat seseorang dapat jujur dengan diri sendiri dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral diri sendiri.7 Sedangkan penyakit mahasiswa dalam praktik ketidakjujuran akademis biasanya berbentuk manipulasi absensi, plagiarisme, menyontek, dan yang kini populer ialah praktik joki tugas. Berangkat dari masalah tersebut, menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk membahas praktik joki secara spesifik yang kini kian menjamur dikalangan mahasiswa. Karenanya, tulisan ini lantas hadir untuk turut mencari solusi guna meruntuhkan praktik tersebut sebagai tantangan menghadapi Indonesia Emas 2045.


ISI PEMBAHASAN

Istilah joki tugas barangkali tidak lagi asing terdengar ditelinga kita, terutama mahasiswa. Praktik ini merujuk pada suatu kegiatan dimana peserta didik melimpahkan tanggungjawab akademiknya kepada orang lain dengan membayar sejumlah uang. Tidak hanya dikalangan mahasiswa, sebenarnya praktik ini juga terjadi pada peserta didik lainnya mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Keatas (SMA). Praktik ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk pengkhianatan, dan ketidakjujuran terhadap tanggungjawab akademis.8 Fakta lapangan sudah membuktikan bahwa budaya ketidakjujuran memang merebak luas dikalangan mahasiswa. Kebiasaan immoral ini sesungguhnya tak kunjung putus karena adanya buah pemikiran untuk senantiasa mentolerir hal tersebut. Ini karena dampak buruknya cenderung tidak langsung terlihat.

Pendapat Bolin mengenai fenomena ini mengemukakan bahwa ia menemukan dua faktor yang memengaruhi prilaku mahasiswa untuk terlibat dalam ketidakjujuran, diantaranya adalah kebiasaan mahasiswa untuk menormalisasikan ketidakjujuran akademik, serta adanya perasaan memiliki peluang untuk terlibat didalamnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Albrecht yang mengatakan bahwasanya elemen ketidakjujuran akademis terdiri dari tekanan, peluang, dan rasionalisasi. Faktor lainnya yang sangat kuat dalam mendukung fenomena ini ialah eksistensi dari kompetensi moral yang cenderung menekan mahasiswa pada orientasi hasil.9 Ini kemudian akan memicu sikap pragmatisme yang rentan sekali terjangkit manusia. Pragmatisme merujuk pada sifat manusia yang cenderung ingin serba praktis dan instan. Seseorang dengan sifat demikian selalu memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai hasil dengan cepat, tanpa mau melewati proses panjang nan melelahkan. Kepraktisan inilah yang kemudian akan menghambat mahasiswa untuk lebih mengeksplorasi pemikirannya yang membuatnya tidak terbiasa berfikir kritis.10 Inilah kenyataan pahit yang menghadang cita-cita Bangsa dalam menciptakan mahasiswa yang solutif, unggul, dan berintegritas. Dengan sikap pragmatisme ini, tentunya jasa joki tugas akan menjadi sebuah layanan komersial yang sangat dicari-cari. Mengingat harga per tugasnya yang cukup fantastis, tak jarang pula banyak mahasiswa juga ikut menggeluti jasa joki ini sebagai tambahan saku. Rantai yang saling sambung menyambung ini tentunya saling berkaitan dalam memperkuat praktik joki yang kian membudaya ini.

Pengamat Pendidikan, Doni Koesoma mengatakan bahwa praktik joki tugas benar-benar merusak masyarakat dan moral Bangsa. Kelak kemudian hari, layanan-layanan publik akan diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten. Beliau berpendapat bahwa mahasiswa demikian masih tidak memahami makna integritas akademik yang seharusnya sudah dipupuk sejak sekolah dasar. Beliau juga menyadari bahwa praktik ini memang sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan di perguruan tinggi. Parahnya lagi, praktik ini tidak hanya dilakukan oleh peserta didik, namun juga kadangkala dilakukan oleh tenaga pendidik seperti dosen. Karenanya, beliau berhadap pemerintah dapat segera turun tangan untuk mengatasi fenomena yang kian merebak ini, untuk tujuan penyelamatan integritas akademik.11

Sejalan dengan pemikiran Bapak Doni, penulis juga beranggapan bahwa penanggulangan praktik ini harus dimulai dari tindakan pemerintah. Penulis sadar bahwa pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang bisa menjamin terawasinya tindakan ketidakjujuran mahasiswa-mahasiswa ini, termasuk dosen hingga rektor sekalipun. Klise sekali jika solusi yang diberikan hanya berfokus pada pendidikan agama dan moral, atau edukasi kejujuran. Namun setidaknya, penulis telah meyakini suatu solusi sebagai satu langkah awal agar praktik joki tugas mulai ketat diawasi dan disoroti. Yaitu dengan melegitimasi aturan hukum mengenai praktik inilah, kemudian mahasiswa yang berbuat akan baru merasakan keseriusan lingkungan dalam mengutuk praktik ini. Sebagaimana korupsi, kolusi, dan nepotisme, ketiganya diatur secara serius dalam aturan hukum sebagai tindak pidana. Meskipun praktik ini dampaknya tidak semerugikan ketiga praktik tersebut, namun ini dapat menjadi gerbang terbuka bagi tindakan immoral yang lebih besar, seperti korupsi. Maka, bisa saja praktik joki kemudian digolongkan sebagai tindak pidana ringan (tipiring). Merujuk pada pendapat Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, praktik joki merupakan bibit daripada rasuah. Yangmana, jika terus dibiarkan, ini akan menjalar pada praktik suap dan gratifikasi dimasa depan. Sedang keduanya merupakan kasus tindak pidana korupsi dengan persentase 80% yang ditangani oleh KPK.12 Sehingga, haruslah sebaiknya praktik ini ditindak secara serius.

Untuk upaya pemberantasannya, penulis berpendapat pemberian sanksi harus dimulai terhadap pihak penyedia jasa joki. Sanksi dapat berupa penyitaan uang hasil joki, atau denda. Pihak perguruan tinggi juga dapat memberi sanksi tambahan sebagai efek jera dengan memberi hukuman skorsing sampai D.O. bagi pelaku berstatus mahasiswa. Dengan adanya pembersihan layanan jasa joki ini, maka akan menutup peluang bagi mahasiswa yang memiliki niat untuk menyerahkan tugasnya kepada jasa tersebut. Namun, tidak hanya para penyedia jasa, para mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas juga haruslah diberi sanksi. Sanksinya dapat berupa denda, maupun pemberian skorsing atau D.O. oleh pihak perguruan tinggi. Aturan hukum mengenai praktik joki juga harus jelas dan jangan blunder. Sehingga, “pelaku” dapat dijerat dan diberi sanksi sesuai perbuatannya. Rektor Universitas Ahmad Dahlan, Kasiyarno, barangkali sejalan dengan pendapat penulis, dengan menilai bahwa praktik joki harus diberi penanganan dengan memberikan payung hukum yang tegas. Beliau sendiri memiliki pengalaman membawa dua orang pelaku praktik joki pada ujian Fakultas Kedokteran Gelombang I kepada polisi yang kemudian dilepas karena alasan tidak timbul kerugian dalam praktik tersebut.13 Jika Negara menampakkan keseriusan terhadap penanganan praktik ini, penulis meyakini bahwa lingkungan akan ikut mengutuk fenomena ini, sehingga praktik joki akan mulai ditinggalkan oleh mahasiswa. Alhasil, lambat-laun keberhasilan ini akan dapat mengembalikan citra mahasiswa sebagai kaum berintelektual dan berintegritas.


KESIMPULAN

Indonesia akan memasuki Tahun Keemasannya pada tahun 2045 karena Bangsa ini telah mencapai 100 tahun kemerdekaan. Indonesia diprediksi akan mencapai puncak kelimpahan sumber daya manusia (SDM) berupa populasi usia produktif dengan jumlah fantastis di tahun 2010-2025 yangmana akan menjadi bonus demografi (demographic dividend) yang sangat berharga jika pemerintah dapat menyiapkan strategi untuk membentuk penduduk tersebut menjadi SDM unggul. Pendidikan lantas memainkan peran strategis dalam mewujudkan hal tersebut untuk menciptakan Generasi Emas Indonesia. Namun tentunya, strategi ini akan terus dihadapkan pada tantangan, seperti belum tuntasnya kebangkrutan moral. Dalam dunia pendidikan, kondisi ini direpresentasikan menjadi praktik ketidakjujuran akademis, salah satunya praktik joki tugas.

Jasa joki umumnya dipakai oleh mahasiswa yang memiliki keinginan untuk mencapai hasil cepat, tanpa proses panjang. Kepraktisan inilah yang kemudian menghambat mahasiswa untuk mengeksplorasi pemikirannya serta menghambat mereka untuk berfikir kritis. Dengan sikap pragmatisme ini, tentunya jasa joki akan sangat dicari-cari. Mengingat harga per tugasnya yang cukup fantastis, tak jarang pula mahasiswa juga ikut menggeluti jasa tersebut. Pengamat pendidikan mengatakan bahwa praktik yang meresahkan ini haruslah segera ditangani oleh pemerintah. Praktik joki dapat menjalar pada praktik suap dan gratifikasi dimasa depan, yangmana keduanya merupakan tipikor yang ditangani KPK dengan persentase sampai 80%. Maka dari itu, sudah seharusnya praktik ini diberi payung hukum, agar para “penyedia” dan “pemakai” jasa joki ini dapat diberi sanksi guna memberi efek jera. Sehingga, praktik joki yang kian membudaya ini akan mulai ditinggalkan oleh mahasiswa. Alhasil, keberhasilan ini akan dapat mengembalikan citra mahasiswa sebagai kaum berintelektual dan berintegritas.



DAFTAR PUSTAKA

Akbar TS, ‘MANUSIA DAN PENDIDIKAN MENURUT PEMIKIRAN IBN KHALDUN DAN JOHN DEWEY’ (2015) 15 Jurnal Ilmiah Didaktika 222

Hasudungan AN and Kurniawan Y, ‘Meningkatkan Kesadaran Generasi Emas Indonesia Dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 Melalui Inovasi Digital Platform www.indonesia2045.org’

Indonesia ©Copyright Universitas Bung Hatta and Padang 25133, ‘Pragmatisme Mahasiswa’ (Universitas Bung Hatta, 27 October 2021) <http://bunghatta.ac.id/artikel-283-pragmatisme-mahasiswa.html> accessed 10 February 2023

KONTRIBUSI PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS BANGSA INDONESIA’

Media HJD, ‘Kasus Perjokian, Pengguna Jasa Tak Bisa Dipenjara’ (Harianjogja.com) <https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/08/01/512/931386/kasus-perjokian-pengguna-jasa-tak-bisa-dipenjara> accessed 10 February 2023

MEDIA PAS, ‘Joki Skripsi Bibit Praktik Korupsi’ (12 November 2022) <https://akurat.co/joki-skripsi-bibit-praktik-korupsi> accessed 10 February 2023

Purba GH and Bety CF, ‘Menyongsong Generasi Indonesia Emas 2045 Melalui Pendidikan Karakter Berbasis ISEQ’ (2022) 6 Jurnal Kewarganegaraan 4076

Qudsyi H and Sholeh A, ‘Upaya untuk Mengurangi Ketidakjujuran Akademik pada Mahasiswa melalui Peer Education’ (2018) 4

Santoso D and Yanti HB, ‘PENGARUH PERILAKU TIDAK JUJUR DAN KOMPETENSI MORAL TERHADAP KECURANGAN AKADEMIK (ACADEMIC FRAUD) MAHASISWA AKUNTANSI’ (2015) 15

Sholihin I, ‘PRAKTIK JOKI TUGAS: ANTARA DEVIASI SOSIAL DAN GEJALA WAJAR MASYARAKAT KONSUMER DALAM DUNIA PASCAMODERN (Studi Fenomenologi Pada Mahasiswa FISIP Universitas Jenderal Soedirman)’

Soekirno DPN Joice Tauris Santi, dan Soelastri, ‘Sepak Terjang Joki Tugas Kuliah di Masa Pandemi’ (kompas.id, 21 July 2020) <https://www.kompas.id/baca/muda/2020/07/22/bahan-joki-tugas-karya-ilmiah-mahasiswa> accessed 10 February 2023

Triyono, ‘MENYIAPKAN GENERASI EMAS 2045’ (INA-Rxiv 2017) preprint <https://osf.io/yrwd7> accessed 9 February 2023

Penulis bernama Shenny Mutiara Irni. Seorang perempuan yang lahir di Medan, tepatnya 06 Juni 2003. Namun, sekarang tengah tinggal di Jember, tepatnya Jln. Nias No. 25, karena sedang menempuh studi sarjana di Universitas Jember. Memiliki beberapa tulisan diantaranya karya ilmiah berjudul “Kekuatan Hukum International Criminal Court atas Perintah Penangkapan Presiden Vladimir Putin”, serta mini artikel berjudul “Memahami Makna Pancasila sebagai Cita Hukum (rechtsidee), dan “Mengulas Tonggak Sejarah Hukum di Indonesia dalam Putusan Richcard Eliezer”. Akun instagramnya adalah @shnnysm