SEKAR Edisi April 2025 | Kompas Tanpa Arah
← Kembali

SEKAR Edisi April 2025 | Kompas Tanpa Arah

Penulis: Lana Rahmatin

Tahun: 2025

Subjek: -

Abstrak/Deskripsi Singkat:
Dalam kisah Kompas Tanpa Arah, Nara memulai perjalanan menuju pelatihan penyintas—bukan hanya untuk belajar bertahan hidup, tapi untuk mencari dirinya sendiri di tengah gemuruh dunia yang tak selalu pasti.


Di tengah kegiatan yang melelahkan dan materi yang menguras pikiran, Nara bertemu seorang lelaki misterius bernama Ara-seseorang yang tak banyak bicara, tapi mampu membuat kehadirannya bermakna. Bukan pahlawan, bukan penolong, Ara hadir seperti kompas diam: tidak menunjuk arah dengan jelas, tapi cukup menjadi cermin bagi Nara untuk bertanya—apa ia sungguh sedang mencari jalan pulang, atau justru sedang mencari alasan untuk tetap pergi?


Melalui pertemuan-pertemuan singkat dan keheningan yang sarat makna, Kompas Tanpa Arah adalah cerita tentang menemukan arah bukan di luar, tapi di dalam diri sendiri. Sebuah transit singkat yang meninggalkan jejak panjang dan mungkin, awal dari perjalanan yang sesungguhnya.


Episode 1: Transit di Titik Temu


Malam itu, Nara berdiri di depan stasiun, menggenggam ransel yang lebih berat dari biasanya. Bukan karena isinya, tapi karena harapan dan rasa takut yang berdesakan di dalam pikirannya. Ia sedang dalam perjalanan menuju pelatihan penyintas, misi singkat di kota asing yang konon katanya akan "mengubah cara pandang terhadap hidup".


Pelatihan ini bukan cuma soal teknik bertahan atau materi tanggap darurat. Bagi Nara, ini seperti isyarat semesta untuk keluar dari ruang nyaman dan menghadapi ketidakpastian.


Dan di tengah barisan orang-orang baru dengan semangat menyala, ia bertemu seseorang. Lelaki itu seperti jeda dalam keramaian: tenang, tapi penuh tanda tanya. Bukan karena kata-katanya, tapi karena caranya memperhatikan sekitar. Namanya? Belum penting. Karena dalam cerita ini, ia bukan tokoh utama—ia hanyalah cermin.


Cermin yang membuat Nara bertanya, "Apa benar aku sedang mencari jalan pulang, atau sebenarnya sedang mencari alasan untuk tetap pergi?”


Episode 2: Lelaki Penjaga Peta


Hari kedua pelatihan dimulai lebih awal dari dugaan. Nara masih menggeliat malas saat adzan subuh membangunkan Nara. Usai sholat, terdengar aba-aba untuk berkumpul. Tanpa sempat berpikir panjang, ia menyeret kakinya ke lapangan, tempat semua peserta sudah berkumpul.


Di sana, untuk pertama kalinya, ia memperhatikan lelaki itu lebih dekat. Ia tidak banyak bicara, tapi matanya tajam membaca situasi. Saat semua sibuk mengeluh soal panas dan lelah, ia diam, sesekali hanya tersenyum tipis saat diminta membantu.


Kegiatan lapangan selesai, dan sekarang mereka berpindah ke ruang kelas di lantai atas—tempat di mana kepala mulai bekerja setelah tubuh dipaksa lelah.


Materi demi materi lewat, sebagian masuk ke kepala, sebagian lagi hanya numpang lewat.


Saat pemateri sedang menyiapkan sesi selanjutnya, peserta diberi waktu istirahat singkat. Tanpa pikir panjang, Nara keluar ke balkon kecil yang menghadap langsung ke atap-atap kota. Angin sore menyapu rambutnya pelan, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, ia bisa bernafas tanpa tergesa.

“Anginnya enak, ya,” suara itu datang dari samping, ringan, nyaris menghilang di antara suara motor dan daun trembesi.

Nara menoleh. Lelaki itu berdiri beberapa langkah darinya, tangan masuk ke saku, santai tapi nggak sok kenal.

“Baru sadar kamu dari tadi ada terus,” katanya sambil tersenyum.

“Lho memang ada,  kamu juga dari tadi ada kan?” Nara balas menatap, setengah geli.


Hening sebentar. Lalu cowok itu buka suara lagi.

“Namamu siapa, kalau boleh tahu?”


Nara melirik singkat, lalu menjawab, “Nara.”

Cowok itu mengangguk pelan.

“Aku Ara.”

 

“Mirip.” satu kata yang terlintas dibenak Nara. Tapi ia tidak  mengucapkannya. Hanya tersenyum tipis, lalu kembali menatap langit kota yang senja-senjanya makin sendu.


Ara. Nama yang terdengar ringan, tapi menggema lama di telinganya.

Seperti arah. Seperti sesuatu yang Nara bahkan tak tahu sedang ia cari, tapi tiba-tiba terasa dekat. 


Dan entah bagaimana, sejak percakapan singkat di balkon sore itu, langkah-langkah Nara terasa tidak lagi seacak sebelumnya. 


Bukan karena Ara banyak bicara. Bukan juga karena ia menunjukkan perhatian yang istimewa. Tapi karena kehadirannya terasa seperti penunjuk arah yang tak memaksa -  Tenang. 


Ia tak menunjuk jalan dengan pasti. Tapi caranya berdiri di samping -tanpa terburu, tanpa bising- membuat Nara percaya bahwa 'arah itu ada' kalau kita mau diam sejenak dan melihat.

April 28, 2025