SEKAR Edisi Maret 2025 | Harga Sebuah Kejujuran
← Kembali

SEKAR Edisi Maret 2025 | Harga Sebuah Kejujuran

Penulis: SEKAR Edisi Maret 2025 | Harga Sebuah Kejujuran

Tahun: 2025

Subjek: -

Abstrak/Deskripsi Singkat:
Mentari pagi samar-samar menampakkan dirinya tetapi aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Ini adalah hari yang penting, hari ujian kelulusan. Hari yang selama ini hanya terasa seperti bayangan jauh, kini hadir di depan mataku. Aku duduk di bangku nomor 14, tepat di tengah ruangan. Lembar soal sudah dibagikan, dan suara pengawas mengingatkan kami untuk tidak melakukan kecurangan.


Mentari pagi samar-samar menampakkan dirinya tetapi aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Ini adalah hari yang penting, hari ujian kelulusan. Hari yang selama ini hanya terasa seperti bayangan jauh, kini hadir di depan mataku. Aku duduk di bangku nomor 14, tepat di tengah ruangan. Lembar soal sudah dibagikan, dan suara pengawas mengingatkan kami untuk tidak melakukan kecurangan.

   "Kalian sudah berusaha sejauh ini. Gunakan waktu sebaik mungkin dan tetaplah jujur," kata pengawas dengan tegas.

    Aku menarik napas panjang, mencoba menghalau kegelisahan yang menyeruak. Aku sudah belajar berbulan-bulan untuk ini, jadi aku yakin bisa melaluinya. Namun, sesuatu menarik perhatianku. Dari sudut mataku, aku melihat seseorang di sebelahku bergerak mencurigakan.

    Jasmine. — sahabatku sejak SMP.

    Aku melihatnya dengan ekor mataku—tangannya menyelinap ke balik meja, mengeluarkan selembar kertas kecil. Catatan kecil itu berisi rumus-rumus matematika, yang dengan cepat dia selipkan di bawah lembar jawabannya. Aku menelan ludah.

    Jasmine curang?

    Tidak, aku pasti salah lihat. Jasmine tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Dia bukan tipe orang yang mengandalkan contekan. Dia pintar, rajin, dan selalu mengingatkan aku untuk belajar. Tapi aku melihatnya sendiri. Aku menggigit bibir. Dadaku terasa sesak. Aku ingin fokus pada soalku sendiri, tapi bayangan Jasmine yang menyontek terus mengganggu pikiranku.

    Bagaimana kalau dia ketahuan?

    Bagaimana kalau dia berhasil dan lulus dengan nilai tinggi karena kecurangannya?

   Aku menatap lembar jawabanku. Tanganku tiba-tiba terasa kaku. Aku bisa diam saja, berpura-pura tidak tahu, dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi… apakah benar semuanya akan baik-baik saja?

   Aku menatap ke arah Jasmine lagi. Dia tampak tenang, menyalin sesuatu dari kertas kecilnya ke lembar jawaban. Jantungku berdebar lebih cepat. Aku tahu aku harus melakukan sesuatu. Tapi apa?

    Pilihan yang sulit

    Aku mencoba menyelesaikan soalku, tapi pikiranku terus bertarung dengan rasa bersalah. Jika aku melaporkannya, dia bisa didiskualifikasi. Masa depannya bisa hancur. Tapi jika aku diam, aku mengkhianati nilai kejujuran yang selalu diajarkan kepadaku sejak kecil.

    Aku melihat ke depan, ke arah pengawas. Dia duduk dengan tenang di kursi depan kelas, pengawas itu sesekali menatap kami semua dengan tatapan tajamnya. Aku bisa memberitahunya. Tapi apa Jasmine akan membenciku? Aku memejamkan mata sejenak. Aku harus memutuskan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mengangkat tangan.

    "Iya, ada apa, Naura?" tanya pengawas, berjalan ke arahku. Aku menelan ludah, melirik ke arah Jasmine yang masih sibuk dengan catatannya. “Saya…" Aku berbisik, "saya melihat seseorang menyontek." Pengawas mengerutkan kening. Aku bisa merasakan Jasmine menegang di sebelahku. "Siapa?" tanyanya dengan nada pelan tapi tegas. Aku menunduk, menarik napas dalam, dan berkata dengan suara lirih.

    "Jasmine."

  Dalam sekejap, seluruh ruangan terasa lebih sunyi daripada sebelumnya. Pengawas menatapku sejenak, lalu berjalan ke arah meja Jasmine.

  "Jasmine, tolong angkat tanganmu dari meja," kata pengawas dengan suara tenang. Jasmine ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Namun, pengawas itu sudah melihat kertas kecil yang masih terselip di antara lembar jawaban. Wajah Jasmine langsung pucat.

   "Ikut saya ke ruang guru." kata pengawas, sembari mengambil lembar jawabannya. Aku menatapnya dengan rasa bersalah yang menghantam dadaku seperti ombak besar. Saat dia berdiri, mata kami bertemu. Mata itu yang dulu penuh kehangatan kini hanya berisi keterkejutan dan pengkhianatan. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku ingin menjelaskan. Tapi dia hanya berbisik pelan sebelum berjalan pergi.

 "Kamu menghancurkan aku, Naura." Dan tiba-tiba, ruang ujian terasa jauh lebih dingin dari sebelumnya.

  Setelah kejadian pada hari itu, Jasmine diskors dan harus mengikuti ujian ulang dengan pengawasan ketat. Kami tidak berbicara selama beberapa hari. Aku ingin menjelaskan bahwa aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Tapi aku juga sadar, dalam hidup, tidak semua orang akan menerima keputusan kita dengan baik.

  Suatu hari, saat aku duduk di kantin sendirian, Jasmine tiba-tiba duduk di depanku. Aku menegang, menunggu apa pun yang akan dia katakan.

  "Aku marah," katanya tanpa basa-basi. "Tapi aku juga sadar… kamu benar." Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Dia menghela napas. "Aku terlalu takut gagal. Aku ingin memastikan aku lulus dengan nilai tinggi, jadi aku memilih cara yang salah." Aku tidak tahu harus berkata apa. "Aku tidak tahu apakah kita masih bisa berteman," lanjutnya, "tapi… aku tidak bisa menyalahkanmu karena melakukan hal yang benar." 

  Aku tersenyum tipis. "Aku hanya ingin kamu lulus dengan usahamu sendiri, bukan dengan contekan." 

  Dia tidak menjawab, hanya mengangguk pelan sebelum berdiri dan pergi. Mungkin kami tidak akan kembali seperti dulu. Tapi aku tahu satu hal—aku telah memilih jujur, dan meskipun itu sulit, aku tidak menyesalinya


Maret 26, 2025